Polusi Udara, “Silent Killer” Kehidupan di Indonesia

Jika kita berbicara tentang polusi udara, ibu kota negara kita pernah mendapatkan peringkat kota terpolusi di dunia April lalu. Periode tahun 2017 hingga 2020 disebut sebagai tahun-tahun puncak polusi udara di Jakarta. Emisi gas berbahaya di Jakarta dan provinsi sekitarnya telah meningkat hingga memperburuk kualitas udara dan menghambat upaya perbaikan kualitas udara itu sendiri.

Akibatnya berimbas pada kondisi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Perubahan iklim terjadi secara drastis sehingga terjadi pergeseran musim. Dampaknya, jutaan orang mengalami kelaparan, banjir, kekeringan sehingga tiap tahunnya terjadi 6.500 kematian dini di Indonesia. Jika dilihat dari dampak pada kesehatan masyarakat, penyakit pernapasan menjadi dampak utama. Polusi yang tersebar di udara terhirup manusia, padahal isinya adalah emisi gas berbahaya yang dapat merusak sistem pernapasan. Memangnya, apa saja sumber polusi udara? Apa yang membuatnya menjadi silent killer? Tulisan ini akan membahas lebih dalam.

Kendaraan Bermotor

Pertengahan 2019 lalu kendaraan bermotor jadi penyumbang polusi terbesar di Jakarta. Sebanyak 75 persen sumber polusi berasal dari transportasi, selebihnya adalah aktivitas industri dan domestik. Setelah temuan ini, dilansir dari kompas.com, Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) mendapatkan data bahwa motor lebih banyak menghasilkan polusi dibandingkan dengan mobil diesel, bensin, bus, truk atau bajaj. Data ini berdasarkan perhitungan emisi pencemaran udara untuk pemerintah daerah.

Jumlah kendaraan di Jakarta terdapat sekitar 20 juta unit, hampir 15 juta berupa kendaraan roda dua. Sisanya adalah kendaraan roda empat.  KPBB melakukan survei dengan mengecek arus kendaraan, jumlah kendaraan, wawancara mengenai pola konsumsi bensin rata-rata per hari. Hasilnya, kendaraan yang menghasilkan jumlah polutan tertinggi per-harinya adalah motor dengan jumlah 8.500 ton (44,53%), bus  4.106 ton (21,3%), dan mobil pribadi 2.712 ton (16,11%). Polutan ini mengandung emisi gas berbahaya seperti PM, Hidrokarbon (HC), Karbonmonoksida (CO), Nitrogen oksida (NOx), dan Sulfur dioksida (SO2). Seperti yang kita tahu, emisi gas yang disebutkan barusan dapat mengancam kesehatan manusia hingga dapat menyebabkan kematian.

Lalu, bagaimana dengan tahun ini? PSBB akibat pandemi COVID-19 ternyata tidak menyurutkan kadar polusi kota Jakarta. Berdasarkan data AirVisual per 27 April 2020, Jakarta sempat berada di peringkat pertama kota terpolusi di dunia. Tentu menjadi sebuah pertanyaan karena waktu itu arus kendaraan dibatasi. Ternyata, ada temuan bahwa sumber polusi di Jakarta bukan hanya dari kendaraan bermotor tetapi ada juga dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Selanjutnya, tulisan ini akan membahas mengenai PLTU sebagai sumber polusi udara.

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)

Hasil penelitian terbaru menemukan bahwa sumber pencemaran udara di Jakarta adalah emisi tidak bergerak yang datang dari luar Jakarta, salah satunya PLTU. Laporan ini dikeluarkan oleh lembaga penelitian Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), sebuah NGO yang mengadvokasi permasalahan polusi udara jenis PM 2.5 ̶ salah satu polutan udara yang berbahaya berukuran lebih kecil dari 2,5 mikrometer ̶ pada 11 Agustus 2020.

Dalam laporan itu, tercatat bahwa polutan buruk di Jakarta adalah pembuangan yang berasal dari emisi gas Sulfur Dioksida (SO2), gas rumah kaca (NOx), dan partikulat PM 2,5 yang justru ditemukan jauh lebih tinggi di wilayah lintas batas Jakarta. Sumber emisi tidak bergerak yang mencemari ruang udara Jakarta itu bisa berasal dari pembangkit listrik batu bara, pabrik, dan fasilitas industri lainnya. Ada 136 fasilitas industri terdaftar termasuk pembangkit listrik dengan emisi tinggi di Jakarta dan berada dalam radius 100 kilometer dari batas administratif ibu kota.

Jakarta merupakan ibu kota negara yang paling banyak dikelilingi oleh PLTU di dunia dalam radius 100 km dengan total 10 PLTU yang beroperasi dan 4 PLTU masih dalam tahap pembangunan berdasarkan data pada pertengahan tahun 2019. Menurut estimasi CREA, PLTU Batu Bara yang berada dalam radius 100 kilometer dari batas administratif ibukota tersebut bertanggungjawab atas sekitar 2.500 kematian dini di wilayah Jabodetabek. Laporan CREA menyebut butuh Rp5,1 triliun per-tahun untuk biaya perawatan kesehatan terhadap penyakit yang timbul akibat pencemaran udara.

Adapun penyakit yang dapat menyerang manusia akibat emisi gas PLTU adalah asma, kencing manis, stroke, infeksi saluran pernapasan, dan penyakit lainnya. CREA juga menghitung akan terjadi risiko kerugian ekonomi akibat penurunan produktivitas pekerja yang terkena penyakit. Bahkan akibatnya bisa sampai ke anak-anak, mereka dapat terkena asma, dan pada ibu hamil yang harus lahir prematur akibat polusi.

Asap rokok

Di dunia, 85 persen penyebab kanker paru-paru adalah rokok. Polusi udara dari asap kendaraan atau industri juga berbahaya. Namun, ketika kadarnya sama dengan asap rokok, biasanya akan timbul gejala seperti mata perih dan lain-lainnya. Hal tersebut dikarenakan ketika perokok menghisap langsung dan dilakukan setiap hari, karsinogen yang masuk dalam tubuh jumlahnya besar. Ini berbeda dengan polusi yang terdistribusi dan bisa diproteksi.

Asap rokok mengandung lebih dari 7.000 bahan kimia, di mana ratusan bahan kimia itu mengandung racun dan sekitar 70 persen dapat menyebabkan kanker. Baik kita adalah perokok aktif maupun pasif, jika terkena paparan asap rokok maka kandungan kimia di dalamnya dapat memasuki aliran darah dan mempengaruhi seluruh tubuh. Bahan kimia tersebut juga merusak DNA dan mengganggu kinerja DNA dalam memperbaiki diri sehingga menyebabkan pertumbuhan sel kanker.

Hal yang sama terjadi pada anak-anak. Mereka yang tinggal di rumah seorang perokok rentan terhadap infeksi telinga, pneumonia, bronkitis, batuk dan asma. Anak yang sudah memiliki penyakit asma akan terkena serangan yang lebih parah lagi. Setelah mengetahui sumber polusi, kini kita menyadari betapa bahayanya polusi untuk hayat hidup manusia. Ini bukan akhir dari dunia, kita bisa sama-sama mengubahnya.

Dimulai dengan hal kecil terlebih dahulu dengan memulai hidup green living. Bisa dengan cara berhenti merokok, mulai menggunakan kendaraan listrik, dan memanfaatkan energi terbarukan. Tentunya langkah ini juga perlu dukungan dari pembuat regulasi, yaitu pemerintah. Dengan adanya regulasi yang mendukung pergerakan green living, maka akan semakin mudah dilakukan. Kadar polusi di negara kita juga dapat dikurangi.

Written by Naura Nady Salsabila | 18 Nov 2020