Pemanfaatan Lahan Pasca Produksi Tambang untuk PLTS

Pertambangan di Indonesia tidak terlepas dari sistem tambang terbuka (open pit), yang umumnya tidak hanya melahirkan bahan galian, tapi juga bisa mengubah topografi lahan hingga mengubah lansekap. Begitu aktivitas pertambangan selesai, area pertambangan dibiarkan begitu saja hingga meninggalkan lubang-lubang yang sebagian menjadi kolam air, polusi partikel debu, hingga pH ekstrim. Oleh karena itulah, dibutuhkan pemanfaatan lahan yang tepat untuk mengelolanya. Hal inilah yang baru-baru ini dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pada Mei 2019 lalu, Kementerian ESDM Indonesia mempersiapkan konsep pemanfaatan lahan bekas tambang milik PT Timah Tbk. Menjadi area pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Tentu ini merupakan kabar baik karena tidak hanya area bekas pertambangan akhirnya dikelola dengan baik, tapi juga dimaksimalkan untuk menghasilkan energi terbarukan.

Keharusan pengelolaan wilayah bekas pertambangan

Pemanfaatan lahan di wilayah bekas pertambangan timah sebetulnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan walaupun kita tetap harus mengapresiasinya. Ego Syahrial, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, bersama dengan Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) tentang pengelolaan lingkungan setelah aktivitas pertambangan. Mengingat tingginya kerumitan pada aktivitas pertambangan, maka peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam membuat kebijakan yang serius.

Pasalnya, aktivitas pertambangan bisa memberikan dampak kurang baik terhadap lingkungan. Itulah kenapa dibutuhkan program khusus untuk memulihkan lingkungan sekitar. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Kementerian ESDM pun mengambil langkah khusus untuk memanfaatkan lahan bekas pertambangan timah milik PT Timah Tbk. menjadi sebuah PLTS. Jadi tidak hanya memperbaiki lingkungan, adanya PLTS tentu juga bisa memberikan pasokan listrik baru.

PLTS sebagai pilot project di wilayah bekas tambang

Dadan Kusdiana, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan ESDM, mengatakan bahwa pembangunan PLTS ini akan menjadi pilot project di wilayah bekas tambang. Lokasinya berada di Kampung Reklamasi Air Jangkang di Pulau Bangka, Riau. Bagi yang belum tahu, Kampung Reklamasi Air Jangkang adalah sebuah wilayah bekas penambangan seluas kurang lebih 31 hektar yang dulunya dikelola oleh PT Timah Tbk. Jika semua berjalan sesuai rencana, proyek tersebut akan dijadikan percontohan pembangunan PLTS yang dikerjakan dalam skala besar.

Rencana ini sangat mungkin terwujud mengingat bekas-bekas pertambangan, baik yang masih berupa lahan kosong atau sudah berbentuk pertambangan, dapat dipasangi solar panel. Bahkan hal ini sudah dilakukan di Jepang dan Cina, di mana solar panel dipasang secara mengambang di lahan-lahan bekas pertambangan. Dengan begini, lahan bekas pertambangan pun bisa kembali produktif dan memberi manfaat untuk perusahaan.

Salah satu solusi penyediaan listrik di Kepulauan Bangka Belitung

Pulau Bangka berada di Kepulauan Bangka Belitung. Selama ini memang listrik menjadi salah satu masalah utama yang dihadapi di Bangka Belitung. Masih banyak daerah yang belum terjangkau oleh pasokan listrik PLN. Alhasil, tidak sedikit daerah yang masih menggunakan genset untuk memenuhi kebutuhan listrik sehari-hari. Apalagi biaya pokok penyediaan pembangkitan di Kepulauan Bangka Belitung memang cukup tinggi, yaitu sebesar Rp2.681/kWh.

Adanya pemanfaatan lahan menjadi PLTS di wilayah bekas penambangan PT Timah Tbk. diharapkan bisa mendukung penyelesaian masalah listrik tersebut. Rencananya, PLTS tersebut akan dijadikan sebagai salah satu unit usaha penyediaan tenaga listrik. Karena memanfaatkan sinar matahari sebagai sumber energi, PLTS tentu bisa menyediakan pasokan listrik yang tidak hanya melimpah, tapi juga bersifat terbarukan.

Mendukung efisiensi penggunaan energi

Proyek pemanfaatan lahan di wilayah bekas penambangan juga dinilai sebagai salah satu langkah efisiensi energi. Bahkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (P3Tek KEBTKE) Kementerian ESDM berencana akan menerapkan hal tersebut pada program audit energi. Menurut Dadan Kusdiana, langkah tersebut diperlukan mengingat biaya energi memiliki kecenderungan semakin meningkat. Apabila terus dibiarkan, bukan tidak mungkin akan berdampak buruk terhadap manajemen perusahaan. Demi kesuksesan penerapan langkah tersebut, BLU P3Tek KEBTKE akan memantau dan mengukur penggunaan energi, mengelola risiko, mengidentifikasi biaya energi, hingga menyediakan rekomendasi untuk meningkatkan efisiensi.

Tidak hanya itu, BLU P3Tek KEBTKE juga rencananya akan memberikan analisis terkait dampak penggunaan energi bagi lingkungan sekitarnya. Hal ini dilakukan untuk memastikan agar masyarakat juga bisa menikmati energi secara optimal sekaligus meningkatkan efisiensi kegiatan dari produksi produksi PT Timah Tbk.

Keunggulan PLTS sebagai sumber pasokan listrik

Keputusan Kementerian ESDM untuk melakukan pemanfaatan lahan pascatambang menjadi PLTS tentu bukanlah tanpa alasan. Salah satu faktor utamanya adalah karena panel surya sebagai PLTS cenderung lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan listrik yang dihasilkan bahan bakar fosil seperti batubara. Menurut International Energy Agency (IEA), panel surya dapat membantu mengurangi kadar CO2 hingga 20% dari total keseluruhan yang ada di bumi. Selain itu, Indonesia juga memiliki kondisi iklim yang mendukung untuk pembangunan PLTS. Sinar matahari menjadi sumber energi utama untuk listrik tenaga surya. Dengan matahari yang bersinar hampir sepanjang tahun, listrik yang dihasilkan PLTS bisa mencapai 4,8 kWh/m2 atau setara 112.000 GWp.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pasokan listrik di Indonesia belum lah merata. Masih ada daerah-daerah di Indonesia yang belum mendapat pasokan listrik memadai, khususnya yang berada di kawasan terpencil seperti Pulau Bangka, lokasi di mana bekas pertambangan milik PT Timah Tbk. berada. Dengan adanya pemanfaatan lahan menjadi PLTS di Pulau Bangka diharapkan bisa menjadi langkah awal yang signifikan untuk memenuhi kebutuhan listrik seluruh masyarakat Indonesia.

Pemanfaatan lahan pascatambang dalam bentuk lain

Tentunya PLTS bukan menjadi satu-satunya langkah konkret yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk pemanfaatan lahan pascatambang. Bambang Hendroyono, Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup, mengatakan bahwa reklamasi hutan dan rehabilitas Daerah Aliran Sungai (DAS) juga sebaiknya dilakukan. Reklamasi hutan wajib dilakukan oleh pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di kawasan hutan yang terganggu. Sementara itu, rehabilitas DAS dilaksanakan melalui kegiatan penanaman di lokasi lahan kritis. Kedua hal ini penting dilakukan untuk mendukung upaya-upaya mengurangi dampak lingkungan hidup pasca aktivitas sektor ESDM. Apabila tidak dilakukan, pelayanan penambangan akan dikurangi atau bahkan tidak akan diberikan sama sekali.

Selain langkah-langkah yang konkret, komitmen untuk mengurangi dampak lingkungan akibat aktivitas pertambangan juga memerlukan pemahaman yang sejalan antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Ditjen Penegakan Hukum Kementerian LHK dan Inspektur Tambang. Di sisi lain, Kementerian ESDM juga tengah mendorong pengurangan polusi dan emisi gas buang demi perbaikan lingkungan pascatambang.

Daripada dibiarkan begitu saja, terbengkalai, dan akhirnya merusak lingkungan, memang sudah seharusnya wilayah bekas pertambangan dikelola secara tepat. Pemanfaatan lahan menjadi sebuah PLTS merupakan langkah baik, seperti yang dilakukan oleh Kementerian ESDM di Pulau Bangka. Semoga langkah ini bisa menjadi percontohan untuk diterapkan di daerah-daerah pertambangan lain. Bayangkan jika ada semakin banyak PLTS yang dibangun sebagai pemanfaatan lahan pascatambang. Tentu akan semakin banyak pula daerah di Indonesia yang terpenuhi kebutuhan pasokan listriknya.


Written by Biru Cahya Imanda | 29 Oct 2019