Pemanasan Global: Penyebab Pergeseran Musim di Indonesia

Pemanasan global menjadi salah satu masalah yang sedang dihadapi dunia. Penyebabnya dapat dipengaruhi oleh aktivitas manusia maupun alam. Aktivitas manusia seperti penebangan hutan dan penggunaan alat-alat yang menghasilkan karbon tinggi. Lalu aktivitas alam seperti meletusnya gunung berapi, el Nina di lautan dan radiasi sinar matahari.

Akibatnya terjadilah perubahan iklim. Perubahan iklim adalah perubahan pada suhu, curah hujan, pola angin dan berbagai efek lain secara drastis. Salah satu dampak yang terjadi akibat adanya perubahan iklim adalah efek Gas Rumah Kaca. Gas Rumah Kaca adalah gas yang berada di atmosfer, yang memiliki fungsi menangkap energi matahari agar tidak kembali lagi seutuhnya ke atmosfer. Fungsi Gas Rumah Kaca sebenarnya menjaga suhu bumi untuk tetap stabil. Akan tetapi, jika konsentrasi Gas Rumah Kaca semakin meningkat akan terjadi penebalan lapisan atmosfir. Penebalan ini menyebabkan panas bumi terperangkap di atmosfer, sehingga mengakibatkan peningkatan suhu bumi. Beberapa senyawa yang menyebabkan gas rumah kaca adalah Karbondioksida (CO2), Nitro Oksida, Sulfur Oksida, Metana (CH4), Chlorofluorocarbon (CFC) dan Hydrofluorocarbon (HFC). Dampaknya berupa pergeseran musim.

Jika kita menengok negara kita, Indonesia, pergeseran musim sudah mulai terjadi. Biasanya, musim kemarau masuk pada bulan Maret atau April. Namun kini, musim kemarau masuk pada bulan Mei sampai Agustus. Pergeseran musim ini berdampak pada masyarakat. Penyebabnya karena Gas Rumah Kaca yang merupakan dampak dari penebangan hutan besar-besaran, masifnya penggunaan kendaran bermotor, penggunaan teknologi yang menghasilkan emisi gas, dan lain-lain. Akibatnya terjadi kekeringan, krisis air bersih, menurunnya produksi pertanian akibat gagal panen dan kebakaran hutan.

Salah satu solusi untuk mengurangi terjadinya pemanasan global dapat dengan mengurangi produksi karbon dan mulai menggunakan energi terbarukan. Kita dapat memulainya dengan memanfaatkan energi matahari untuk memproduksi listrik dengan Panel Surya. Sekitar 89,75% pembangkit listrik di Indonesia menggunakan bahan bakar fosil dan hanya 10,25% pembangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan. Penggunaan bahan bakar fosil ini akan memengaruhi kondisi lingkungan, yaitu terjadinya perubahan iklim. Hal ini dikarenakan hasil pembakaran bahan bakar fosil menyumbangkan emisi gas rumah kaca seperti CO2, CH4 dan N2O. Jika kita mulai menggunakan Panel Surya, kita juga berarti memulai untuk mengurangi sumbangan emisi gas.

Kini kita sudah mulai memasuki musim kemarau. Ini merupakan kesempatan untuk mulai memasang Panel Surya sebagai sumber listrik di rumah maupun properti Anda. Intensitas energi matahari yang tinggi pada musim kemarau dapat dimanfaatkan untuk mengoperasikan Panel Surya. Di samping keuntungan itu, kita juga berkontribusi untuk bumi yang lebih sehat. Ingin ikut berkontribusi? Hubungi kami di www.SolarKita.com/contact

Written by Naura Nady Salsabila | 05 Aug 2020