Pasca Pandemi Covid-19: "Energi Terbarukan Semakin Diminati Dunia"

Sudah hampir dua bulan pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia. Pandemi ini mengharuskan warga beraktivitas di rumah untuk mengurangi angka penularan. Pemerintah setiap daerah mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sehingga aktivitas warga di luar rumah terbatas. Setiap perusahaan pun memutuskan untuk para karyawannya bekerja dari rumah atau work from home. Aktivitas yang berkurang di luar ternyata mempengaruhi kondisi kualitas udara.

Hasil penelitian The Global Carbon Project menunjukkan bahwa pandemi virus corona menurunkan emisi karbon hingga 5%. Angka tersebut merupakan penurunan terbesar sejak Perang Dunia II. Potensi ini dapat menjadi pertimbangan pemerintah untuk lebih serius dalam mengurangi penggunaan karbon dan meningkatkan produksi energi terbarukan. Terlebih dalam penggunaan energi listrik yang berasal dari bahan bakar fosil. Dikutip dari Forbes, listrik yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil menyumbang 25% dari emisi berbahaya di dunia, sementara manufaktur dan transportasi, juga konsumen besar, masing-masing bertanggung jawab atas 21% dan 14%. Jika perubahan positif pada polusi memberikan dampak besar pada darurat iklim, ini akan menjadi poros untuk energi terbarukan.

Jika dilihat dalam perspektif ekonomi, dengan mendorong penggunaan energi terbarukan setelah pandemi Covid-19 dapat membantu memperbaiki kondisi ekonomi yang sebelumnya menurun. Pemerintah Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan jauh lebih rendah dari target yang ditentukan tahun lalu. Kementerian Keuangan memprediksi ekonomi Indonesia mengalami ketidakpastian dan kemungkinan hanya tumbuh minus 0,4%-2,3%.

Ekonomi energi terbarukan sudah dikenal luas. Energi terbarukan sudah lebih murah daripada minyak, gas atau batu bara. Dikutip dari IESR, pandemi Covid-19 menciptakan peluang bagi Indonesia masuk ke dalam jalur pertumbuhan ekonomi rendah karbon (low carbon economy) yang dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan. Pertumbuhan tinggi dapat terjadi dengan syarat aktivitas pembangunan mengintegrasikan mitigasi perubahan iklim untuk mengurangi emisi gas rumah kaca 41% pada 2030, termasuk di dalamnya pemanfaatan energi terbarukan mencapai 23% bauran energi primer hingga 2030.

Bagaimana dengan negara lain?

Produsen batu bara besar seperti Australia berencana untuk melakukan penghematan besar dari turunnya biaya energi terbarukan. Mereka memperkirakan bahwa 90% dari pasokan energinya dapat didasarkan pada energi matahari dan angin pada tahun 2040 tanpa memungut biaya dari konsumen untuk membayar pemasangan.

Berbeda dengan Norwegia, mereka bertujuan menyalurkan energi listrik untuk semua penerbangan domestiknya pada tahun 2040. Beberapa perusahaan minyak sekarang berinvestasi dalam energi surya, sebagian sebagai greenwashing, tetapi sebagian hanya karena menguntungkan perusahaan. Inggris baru saja mencapai rekor 23 hari tanpa menggunakan batu bara untuk pembangkit listrik, sementara negara-negara Amerika seperti Iowa, Virginia dan yang lainnya memikirkan kembali rencana mereka, berdasarkan penggunaan energi terbarukan. Partai demokrat ingin memasukkan tindakan terhadap perubahan iklim dalam paket tanggapan terhadap krisis akibat pandemi dan sedang mempertimbangkan pendanaan 30 juta atap surya di seluruh negara.

Bagaimana di Indonesia?

Rekomendasi Managing Director International Monetary Fund (IMF), Kristalina Georgieva yang disampaikan di Petersburg Climate Dialogue, menyatakan bahwa kebijakan fiskal yang dikeluarkan pemerintah di setiap negara untuk menghadapi virus corona perlu diterapkan untuk mengatasi perubahan iklim dan memastikan pemulihan (ekonomi) yang berkelanjutan secara lingkungan.

Di Indonesia sendiri, terdapat usulan yang disampaikan IESR kepada pemerintah yaitu Program Surya Nusantara. Program ini bertujuan untuk memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap sebesar 1 GWp yang dilakukan di 500-600 ribu rumah tangga miskin penerima subsidi listrik masing-masing sebesar 1,5 kWp – 2 kWp. Program mulai dipersiapkan pada 2020 dan dilaksanakan pada 202. Nantinya program ini dapat dilanjutkan hingga 2025 untuk mendukung tercapainya target 6,5 GW dari energi surya sebagaimana target Perpres No. 22/2017 tentang RUEN.

Jika dilaksanakan, program ini dapat menstimulasi penghematan subsidi listrik Rp1,3 triliun per tahun dan akan semakin bertambah jika program ini diperluas dan dilakukan sampai 2025. Pemanfaatan PLTS Atap oleh rumah tangga, bangunan komersial dan industri akan mengurangi tekanan terhadap PLN untuk berinvestasi menambah kapasitas pembangkit. Mari wujudkan program ini dengan memasang panel surya mulai dari rumah Anda. Jika ingin tahu lebih lanjut mengenai panel surya, hubungi kami di solarkita.com

Written by Naura Nady Salsabila | 19 May 2020