Mengapa Biaya Listrik Terus Meningkat dari Tahun ke Tahun?

Kehidupan sehari-hari manusia sangat tergantung pada keberadaan listrik. Kita mungkin tidak terlalu menyadarinya karena merasa sudah terlalu nyaman dengan adanya pasokan listrik yang lancar di rumah, kantor, dan berbagai tempat lain. Padahal, di balik penggunaan listrik, kita juga harus membayar tagihan yang tidak bisa dibilang sedikit, lho.

Di Indonesia, pasokan listrik masyarakat dikelola oleh PLN. Tiap tahunnya, ada kecenderungan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sehingga pengeluaran rumah tangga pasti akan ikut meningkat, bahkan jika kamu sudah berupaya hemat listrik sekali pun.

Memang, hingga akhir tahun 2018 nanti, PLN sudah memutuskan untuk tidak menaikkan TDL. Namun, sebagai pengguna listrik, kita sebaiknya tetap melakukan antisipasi terkait kemungkinan kenaikan biaya listrik. Hal ini bisa dimulai dengan sesimpel mencari tahu alasan di balik kenaikan biaya listrik yang sepertinya hampir selalu terjadi setiap tahun. Apa saja?

 

Jumlah batu bara yang terus berkurang

Hingga saat ini, batu bara masih menjadi sumber daya pembangkit listrik yang mendominasi di dunia, yakni sebanyak 37% (9.566 TWh) dari total 25.570 TWh listrik yang dihasilkan di dunia. Secara otomatis, batu bara pun masih menjadi acuan tarif listrik bagi beberapa negara-negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia.

Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa selama Februari 2018 lalu saja, konsumsi batu baru di Indonesia mencapai 15,6 juta metric ton. Kebanyakan konsumsi batu bara tersebut digunakan untuk bidang kelistrikan.

Jumlah yang cukup tinggi tersebut sebetulnya cukup mengkhawatirkan. Perlu diingat kembali, batu bara termasuk salah satu jenis sumber daya yang berasal dari energi fosil. Padahal, energi fosil bersifat tidak terbarukan (non-renewable). Pengolahannya membutuhkan waktu yang sangat lama. Hal ini pun tidak sejalan dengan kebutuhan listrik yang terus meningkat. Alhasil, tidak mengherankan jika akhirnya biaya listrik atau TDL jadi terus naik mengingat pasokan energi fosil yang terus berkurang.

 

Penggunaan batu bara untuk PLTU

Indonesia memiliki beberapa jenis pembangkit tenaga listrik, di antaranya yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTG), dan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG).

Nah, dari sekian banyak jenis tersebut, PLTU merupakan pembangkit tenaga listrik yang paling banyak menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya. PLTU inilah yang memiliki dominasi kapasitas total pembangkit listrik di Indonesia, yaitu sebanyak kurang lebih 21.000 GigaWatt (GW) atau setara dengan 40% dari total 52,9 GW yang merupakan kapasitas pembangkit listrik di Indonesia.

Padahal, seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, batu bara berasal dari energi fosil yang sifatnya tidak dapat diperbarui sehingga jumlahnya terus berkurang. Dominasi kapasitas PLTU sebagai pembangkit listrik di Indonesia dan batu bara sebagai bahan primernya tentu berpotensi menaikkan tarif listrik di Indonesia, semakin menyulitkan Anda dan kita semua untuk melakukan hemat listrik.

 

Selisih HBA yang cukup tinggi

Sejak awal 2018 lalu, perhitungan TDL di Indonesia dimasuki Harga Batu Bara Acuan (HBA) sebagai komponen formulasinya. Dampaknya, tarif listrik untuk golongan nonsubsidi pun bisa naik. Terlebih, terhitung per Agustus 2018, HBA telah mencapai angka 107,83 USD per metrik ton.

Harga ini menghasilkan selisih yang lumayan besar daripada harga yang dipatok Kepmen ESDM No. 1395 K/30/MEM/2018, yakni sebanyak 70 USD per metrik ton. Selisih HBA ini tentu akan mempengaruhi anggaran negara dan tarif dasar listrik di masa yang akan datang tentunya.

Lalu, kenapa HBA bisa begitu tinggi? Tentunya kembali lagi kepada kondisi ketersediaan batu bara sebagai salah satu jenis energi fosil yang semakin berkurang dari waktu ke waktu. Padahal, kebutuhan akan listrik terus meningkat.

 

Melambungnya nilai dolar AS

Beberapa waktu lalu, Indonesia sempat dihebohkan dengan nilai dolar AS yang hampir mencapai Rp15.000, tepatnya Rp14.600 pada Agustus 2018 lalu. Kondisi ini pun berdampak terhadap banyak sektor, termasuk kelistrikan. Dilansir dari situs cnbcindonesia.com, Sarwono Sudarto selaku Direktur Keuangan PT PLN (Persero) mengatakan bahwa melambungnya nilai dolar AS akan mengakibatkan peningkatan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Tenaga Listrik.

Namun, PLN menyatakan bahwa meskipun BPP naik, pihaknya memastikan agar TDL tidak ikut naik. Demi mewujudkan hal tersebut, PLN berusaha melakukan berbagai efisiensi seperti pemeliharaan hingga penghitungan konsumsi yang dipakai energi per kilo watt-nya.

Meski begitu, kekhawatiran akan naiknya harga listrik tetap saja muncul. Bagaimana pun juga, pasokan listrik di Indonesia masih sangat bergantung terhadap ketersediaan batu bara yang merupakan energi fosil. Seperti yang disebutkan di atas, harga batu bara acuan menggunakan angka dalam dolar AS. Apabila nilai mata uang tersebut meningkat, bukan tidak mungkin harga listrik di Indonesia juga akan ikut melambung.

 

Lalu, apa yang seharusnya kita lakukan?

Menghemat listrik tentu menjadi solusi agar Anda bisa menekan biaya tagihan listrik rumah tangga walau TDL terus mengalami peningkatan. Namun, menghemat listrik yang seperti apa? Semua bisa dimulai dengan langkah kecil, seperti mencabut kabel dari colokan listrik jika tidak dipakai, mematikan peralatan elektronik, mematikan lampu ruangan setiap ditinggalkan, hingga terus mengevaluasi tagihan listrik bulanan.

Namun, dengan tarif listrik yang memiliki kecenderungan meningkat setiap tahun, sudah saatnya kita mengambil lompatan yang agak jauh. Energi terbarukan atau renewable resource merupakan jawabannya. Kita tidak harus bergantung kepada batu bara untuk menyokong kebutuhan listrik sehari-hari. Panel surya sebagai salah satu bentuk energi terbarukan bisa membantu memenuhi kebutuhan listrik Anda.

Bahkan sebetulnya penggunaan panel surya sebagai sumber energi listrik sudah mulai banyak digunakan. Faktanya, panel surya menjadi penyumbang energi terbesar kedua dalam kategori sumber energi terbarukan di dunia dengan jumlah mencapai 104 TWh pada 2017. Hanya selisih sekitar 30-an TWh dari energi angin dengan angka 137 TWh. Data ini disampaikan dalam Global Energy & CO2 Status Report – The Latest Trends in Energy and Emissions in 2017.

 

Keputusan PLN dan pemerintah untuk menaikkan tarif listrik tentu sudah didasari oleh berbagai pertimbangan. Begitu juga dengan keputusan PLN untuk tidak menaikkan TDL hingga akhir 2018 nanti. Meski begitu, tetaplah penting untuk mengetahui alasan di balik kenaikan TDL yang biasanya terjadi hampir setiap tahun di Indonesia.

 

Penggunaan batu bara sebagai sumber energi listrik utama masih menjadi penyebab utamanya, padahal batu bara merupakan salah satu bentuk energi fosil yang tidak dapat diperbarui sehingga jumlahnya terus berkurang. Beralih pada sumber energi terbarukan seperti panel surya untuk memenuhi kebutuhan listrik merupakan alternatif solusi yang tepat. Dengan begini, Anda pun bisa lebih efektif hemat listrik dengan cara yang ramah lingkungan.

Written by Biru Cahya Imanda | 04 Dec 2018