7 Dampak Negatif PLTU Batu Bara

Banyak negara di dunia yang kini tidak lagi menggunakan batu bara sebagai sumber energi dengan alasan utama mengkhawatirkan kondisi lingkungan. Sayangnya, meskipun banyak negara di dunia mengurangi penggunaan batu bara, Asia Tenggara, termasuk Indonesia, justru menaikkan konsumsi batu bara. Alasan pemerintah Indonesia tetap menggunakan batu bara terlepas dari dampak negatifnya tidak lain adalah karena biayanya yang relatif “murah”.
Berdasarkan kajian Asosiasi Energi Internasional (IEA) tahun 2016, penggunaan batu bara sebagai pembangkit tenaga listrik diprediksi akan meningkat hingga tiga kali lipat dalam dua puluh tahun ke depan. Tentu saja hal ini menjadi masalah tersendiri mengingat dampak negatif yang dibawa oleh PLTU batu bara bukanlah sesuatu yang layak diabaikan. Lantas, apa saja dampak negatif PLTU batu bara tersebut? Berikut informasinya!

1. Gangguan sistem pernapasan dan potensi kematian dini

Gangguan sistem pernapasan merupakan salah satu dampak negatif paling ringan yang diakibatkan oleh banyaknya PLTU batu bara. Dampak negatif ini kerap dialami oleh masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU batu bara. Merujuk pada laporan kolaborasi Greenpeace dan Universitas Harvard pada bulan Agustus 2015 lalu, gangguan sistem pernapasan ini bahkan dapat menyebabkan kematian dini pada tingkat yang lebih parah. Sebagai contoh, Greenpeace memperkirakan emisi PLTU Jepara diestimasi sudah menyebabkan tidak kurang dari 1.020 kematian dini per tahun hingga tahun 2012 saja. PLTU Jepara sendiri merupakan PLTU batu bara yang memiliki jumlah produksi energi listrik sebesar 2640 MW dan sudah beroperasi sejak tahun 2006. Meski menghasilkan tenaga uap yang dibutuhkan masyarakat, kehadiran PLTU batu bara sangat mengkhawatirkan karena mengancam nyawa penduduk sekitar.

Berdasarkan data Greenpeace, tidak kurang dari 20 anak-anak pada usia di bawah usia lima tahun meninggal akibat infeksi akut saluran pernapasan. Terdapat 90 kematian lainnya yang diakibatkan oleh penyakit pernapasan kronis. Selain itu, sebanyak 60 kematian diakibatkan oleh kanker paru-paru obstruktif kronis, 450 kematian akibat stroke, dan 400 kematian akibat penyakit jantung iskemik. Besarnya jumlah kematian akibat gangguan pernapasan yang dipicu oleh PLTU batu bara ini tentu menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan untuk kebijakan yang lebih baik ke depan.

2. Mengancam nyawa

Secara historis, penambangan batu bara merupakan pekerjaan yang sangat berbahaya bagi mereka yang terlibat. Tambang batu bara bawah tanah cenderung mudah runtuh, membawa potensi membahayakan terhadap penambang. Adanya modernisasi industri pertambangan batu bara saat ini memang telah secara drastis mengurangi risiko tersebut. Misalnya seperti di AS, jumlah penambang batu bara mati per tahun selama proses penambangan turun dari yang jumlahnya ratusan hingga ribuan menjadi puluhan. Namun ,tetap saja, kegiatan ini sangat mengancam nyawa.

3. Pelepasan polutan

Dampak negatif PLTU batu bara juga berupa polutan yang dilepaskan selama proses penambangan. Sebagian besar polusi ini disebabkan oleh teknik yang dikenal sebagai mountaintop removal, di mana 'lapisan penutup' di atas lapisan batu bara dipindahkan ke lembah, bersama dengan limbah lain dari proses penambangan. Mountaintop removal menyebabkan kontaminasi beracun di tanah yang ditemukan bersama dengan batubara. Bahan beracun ini sering tersapu ke ekosistem oleh hujan dan aliran yang telah terkubur di lembah.

4. Merusak ekosistem

Hal yang tidak kalah mengkhawatirkan, PLTU batu bara juga dapat merusak ekosistem. Deforestasi dan penghapusan aliran karena mountaintop removal memiliki efek drastis pada ekosistem. Secara khusus, kondisi ini mampu merusak keanekaragaman hayati ekosistem lokal dengan mengusir atau membunuh populasi spesies. Upaya mediasi ulang lingkungan saat ini tidak memadai untuk menggantikan jasa ekosistem yang pernah disediakan oleh ekosistem hidup di daerah sebelum mereka mengalami mountaintop removal. Ekosistem yang dulunya sebagian besar berupa hutan dengan banyak pohon dihuni kembali dengan rumput liar. Aliran yang merupakan bagian integral dari ekosistem lokal dipenuhi dengan limbah dan puing-puing sisa penambangan. Regulasi lingkungan yang lemah memungkinkan proses mediasi ulang yang sangat buruk ini. Jika penggantian ekosistem yang lebih menyeluruh diwajibkan, banyak proyek mountaintop removal yang tidak akan lagi layak secara ekonomi.

Bila membahas manfaat yang dibawa dari tanah atau lahan bekas penambangan memang bukannya sama sekali tidak ada. Tanah bekas penambangan memang bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain, seperti pengembangan real estate, penggembalaan, dan peternakan hewan buruan. Selain itu, penjualan kayu juga bisa mendapat penghasilan tambahan sebelum penambangan dimulai jika kayu-kayunya tidak dibakar begitu saja. Namun, perlu diingat dan menjadi catatan penting yang dampak negatifnya sama sekali tidak bisa diabaikan. Salah satu perubahan paling mencolok dan sangat mudah terlihat adalah dampaknya terhadap deforestasi dan perubahan topografi. Sungguh disayangkan Indonesia harus mengorbankan situs-situs keindahan alam yang ada, serta keberadaan makhluk hidup yang cukup beruntung tinggal di area pertambangan hanya demi mengekstraksi sejumlah kecil batubara.

5. Menghasilkan jutaan ton limbah

Jutaan ton produk limbah yang tidak dapat digunakan kembali dihasilkan dari PLTU batu bara. Selain dari fakta bahwa produk limbah ini berkontribusi pada masalah pembuangan limbah, limbah yang dihasilkan oleh PLTU batu baru juga mengandung zat berbahaya. Limbah yang terus menumpuk akan membawa dampak yang sangat berbahaya terhadap kondisi lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar.

6. Emisi zat berbahaya

PLTU batu batu juga memiliki dampak negatif karena bisa melepaskan zat berbahaya ke lingkungan. Zat berbahaya yang dimaksud termasuk merkuri, belerang dioksida, karbon monoksida, merkuri, selenium, dan arsenik. Berbagai zat berbahaya tersebut tidak hanya dapat menyebabkan hujan asam, namun juga sangat berbahaya bagi manusia. Lama kelamaan, emisi zat berbahaya yang semakin besar akan mengancam kondisi manusia dan alam sekitar.

7. Abu terbang

Abu terbang (fly ash) adalah sisa dari hasil pembakaran batu bara pada pembangkit listrik. Sisa hasil pembakaran ini terdiri dari partikel-partikel halus dan mengandung sejumlah besar silikon dan kalsium oksida serta proporsi yang lebih kecil dari logam berat seperti merkuri dan arsenik. Abu terbang merupakan bahan yang sangat beracun. Oleh karena itu, sejak pembentukan EPA, peraturan emisi diperketat dengan mengharuskan penghapusan fraksi abu terbang yang lebih besar dari emisi atmosfer. Di dunia barat, lebih dari 99% abu terbang dikumpulkan. Meskipun cara tersebut bermanfaat untuk menjaga kualitas udara di seluruh dunia, hal tersebut menciptakan bentuk baru limbah berbahaya yang perlu ditangani.

Berbeda dengan polutan lain yang dihasilkan oleh pembakaran batu bara, ada volume besar dan massa abu terbang yang perlu ditangani. Di AS saja, 129 juta ton abu terbang diproduksi setiap tahun. Sementara sebagian dari abu ini didaur ulang untuk keperluan lain seperti pengisi beton, sejumlah besar abu tersebut disimpan di kolam abu dan tempat pembuangan sampah. Jadi, bisa disimpulkan bahwa penimbunan abu terbang bukanlah solusi. Penimbunan abu terbang yang jumlahnya terus meningkat hanya akan menjadi bom waktu yang akan meledak suatu saat. Jika bencana terjadi akibat abu terbang yang jumlahnya di luar kontrol terjadi, tidak hanya kondisi lingkungan yang menjadi ancaman, namun juga nyawa manusia sekitar.

Dengan banyaknya dampak negatif PLTU batu bara, sudah sepantasnya pemerintah Indonesia kembali mengkaji ulang kebijakan untuk terus menggunakan batu bara dalam jangka waktu panjang. Berbagai dampak negatif tersebut sangat mungkin dirasakan dalam waktu dekat dan menyebabkan penyesalan di kemudian hari. Sebagai langkah awal, Anda bisa beralih menggunakan pembangkit listrik dengan energi yang lebih ramah lingkungan seperti energi panel surya. Semoga informasi di atas bermanfaat untuk Anda!

Written by Heldania Ultri Lubis | 14 May 2019